APA ITU THALASEMIA? BERIKUT PENJELASANNYA - Rumah Zakat
Rumah Zakat

APA ITU THALASEMIA? BERIKUT PENJELASANNYA

Oleh Dian Ekawati | 12/23/2021, 9:23:47 AM | Inspirasi

facebook
facebook
facebook
facebook
tiktok
Apa itu thalasemia? Biasanya menjangkiti umur berapa dan apakah ada obatnya tidak? Bagaimana mengurangi frekwensi transfusi darahnya? Sahabat Zakat, Thalasemia adalah salah satu penyakit keturunan yang mengakibatkan tubuh kekurangan sel darah merah (anemia). Kondisi anemia ini dikarenakan adanya perubahan gen pada penderita, yang mengakibatkan sumsum tulang belakang tidak mampu memproduksi sel darah merah yang normal secara ukuran, bentuk, fungsi, dan usia, sehingga mudah pecah dan tidak mampu memenuhi kebutuhan oksigen bagi seluruh tubuh. Jumlah penderita thalasemia di Indonesia terhitung relatif banyak, terutama yang tergolong sebagai pembawa gen thalasemia, yakni sekitar 6 dari 100 orang. Apabila para pembawa gen thalasemia ini saling menikah, maka keturunan mereka akan berpotensi terkena thalasemia dengan tingkat keparahan yang berbeda-beda. 25%  anaknya kemungkinan besar akan menderita thalasemia berat, 50% nya menjadi pembawa sifat (carrier), dan 25% nya lagi bebas thalasemia. Karena merupakan penyakit keturunan, thalasemia biasanya didiagnosis sejak usia anak-anak, pada rentang 0-18 tahun. Sesuai dengan adanya perubahan genetik yang mengakibatkan kerusakan pada fungsi sumsum tulang dalam memproduksi sel darah merah, penderita mengalami gejala akibat kondisi anemia dan banyaknya sel darah merah yang pecah sebelum waktunya. Gejala dan tanda yang tampak pada penderita tergantung dari seberapa berat tingkat penyakitnya yang ditentukan oleh seberapa banyak perubahan gen yang terjadi pada penderita. Pada penderita thalasemia ringan dengan perubahan gen yang sedikit, gejala yang tampak hanya berupa anemia ringan yang terus menerus dialami oleh pasien. Namun, pada pasien thalasemia berat, anemia yang diderita lebih berat sehingga anak mudah sakit, lemah, letih, lesu, dan pertumbuhannya sangat terhambat. Sedangkan pecahnya sel darah merah mengakibatkan adanya penumpukan besi (penyusun sel darah merah) di berbagai organ, yang menimbulkan gejala adanya perubahan struktur tulang tengkorak, kulit menghitam, dan gangguan fungsi organ. Perubahan struktur tulang tengkorak pada pasien thalasemia ini cukup khas dan dikenal dengan istilah facies cooley, yang ditandai tulang pipi masuk ke dalam, batang hidung dan dahi menonjol, serta jarak kedua mata menjadi lebih jauh. Semua hal tersebut dalam jangka panjang akan menyebabkan jantung harus bekerja sangat keras memompa darah ke seluruh tubuh dan hingga waktu tertentu tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan tubuh tersebut. Pada berbagai penelitian diketahui harapan hidup pada pasien penderita thalasemia berat tidak lama, yakni hanya mencapai usia 25-30 tahun. Pasien-pasien ini membutuhkan bantuan untuk bertahan hidup, terutama demi menjaga kadar hemoglobin (Hb) tetap cukup untuk menyuplai oksigen ke seluruh tubuh. Untuk itu, pasien biasanya diharusnya untuk menjalani transfusi darah secara teratur setiap 2-3 minggu sekali agar kadar Hb berada di atas 10-12 g/dl. Sayangnya, tindakan transfusi yang sering ini menimbulkan efek samping yang berbahaya bagi penderita, yakni meningkatnya risiko penularan penyakit dari darah yang diterima, serta semakin banyaknya penumpukan besi di dalam tubuh. Masalah kelebihan besi ini lalu perlu diatasi dengan pemberian obat-obatan untuk mengikat zat besi.  Pasien thalasemia yang menjalani transfusi biasanya juga dianjurkan menghindari makanan yang tinggi zat besi seperti daging merah, hati sayuran hijau, dan telur, ataupun makanan yang meningkatkan penyerapan besi seperti makanan yang diasamkan atau produk fermentasi. Apabila pasien bisa menjaga kesehatan dan kebugaran badannya, diharapkan kadang Hb tidak mudah anjlok, sehingga frekuensi transfusi dapat dikurangi, Hingga saat ini masih belum ada obat yang mampu menyembuhkan penyakit thalasemia secara menyeluruh. Tindakan yang dinilai paling efektif namun sangat sulit dan berbiaya besar adalah transplantasi sumsum tulang belakang. Sedangkan terapi lain hanya bersifat mengatasi gejala, atau mencegah terjadinya perburukan pada pasien. Terapi tersebut meliputi pengangkatan limpa yang biasanya telah membesar dan rusak, pemberian obat pengikat besi, pemberian kalsium dan asam folat. Satu-satunya cara untuk mencegah bertambahnya pasien thalasemia adalah dengan menghindari pernikahan sesama pembawa sifat thalasemia. Hal ini dapat dilakukan apabila setiap orang mengetahui apakah dia merupakan pembawa sifat atau bukan, yang dapat diketaui melalui skrining/pemeriksaan darah. Di beberapa negara, skrining thalasemia ini bahwa diwajibkan bagi calon pasangan agar terhindar dari pernikahan sesama pembawa sifat. Calon pasangan yang akan menikah diwajibkan membawa kartu yang menandakan bahwa dirinya bukan merupakan pembawa sifat thalasemia. Apabila seseorang merupakan pembawa sifat thalasemia, maka sebetulnya tidak adalah masalah kesehatan apapun yang perlu dikhawatirkan. Masalah baru akan muncul apabila sesama pembawa sifat menikah yang berpeluang melahirkan anak penderita thalasemia. Dengan memahami penyakit ini, masyarakat harus sadar bahwa thalasemia merupakan penyakit yang berdampak medis, sosial, dan ekonomi yang amat besar, namun dapat dihindari. Mengingat biayanya yang tidak murah, maka pemeriksaan skrining untuk mendeteksi kelainan hemoglobin dan profil sel darah merah terutama diprioritaskan pada orang dengan: (1) riwayat saudara sedarah yang menderita thalasemia, (2) memiliki kadar hemoglobin relatif rendah atau anemia meskipun sudah minum obat tambah darah (zat besi), (3) ditemukan ukuran sel darah merah yang lebih kecil dari ukuran normal. Oleh: dr. Hilmi Rathomi        
Selanjutnya