HUKUM MAKAN DI RESTORAN SEBELUM MEMBAYAR - Rumah Zakat
Rumah Zakat

HUKUM MAKAN DI RESTORAN SEBELUM MEMBAYAR

Oleh Amri Rusdiana | 8/3/2023, 4:33:02 AM | Inspirasi

facebook
facebook
facebook
facebook
tiktok


Oleh: Ustadz Kardita Kintabuwana, Lc, M.A.

Sahabat Zakat, pada dasarnya dalam transaksi muamalah segala sesuatunya boleh dilakukan kecuali ada dalil yang menjelaskan bahwa hal tersebut dilarang atau diharamkan. Sebagaimana kaidah fikih menyatakan: “Hukum yang pokok dari segala sesuatu adalah boleh, sehingga ada dalil yang mengharamkannya.” Akan tetapi, dalam transaksi muamalah ada ketentuan rukun dan syarat yang harus dipenuhi yang berpengaruh dengan sah atau tidaknya suatu transaksi. Di samping itu, ajaran Islam memberikan batasan-batasan kepada pelaku bisnis, agar tidak ada yang dirugikan, baik itu dari pihak pembeli maupun dari pihak penjual, karena prinsipnya transaksi harus dilakukan secara adil.

Demikian pula dalam perniagaan dan transaksi muamalah sangat ditekankan faktor rasa suka sama suka di antara kedua belah pihak. Dengan demikian, maka akan menghasilkan keridhaan dari masing-masing penjual dan pembeli. Karena dalam pandangan Islam, transaksi harus dilakukan secara sukarela ‘an taradhin minkum dan memberikan keuntungan bagi para pelakunya. Sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nisa Ayat 29 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.”

Ditinjau dari sudut fikih Islam, salah satu syarat Bagi objek dalam jual beli adalah kejelasan barang dan harganya. Maksudnya meliputi ukuran, takaran, timbangan, jenis, dan kualitas barang. Itu semua merupakan sesuatu yang harus diketahui secara jelas dan transparan. Hal ini bertujuan agar terhindar dari kerugian setelah melakukan transaksi jual beli tersebut. Demikian juga harganya harus diketahui, baik itu sifat (jenis pembayaran), maupun jumlahnya. Jika barang dan harga tidak diketahui atau salah keduanya tidak diketahui, maka jual beli batal, karena mengandung unsur gharar (ketidakjelasan).

Oleh karena itu, transaksi jual beli suatu barang tanpa pencantuman harga, di mana barang tersebut dimanfaatkan terlebih dahulu sebelum membayar harganya, pada dasarnya merupakan transaksi yang mengandung gharar. Karena barang yang diperjualbelikan (objek jual beli) tidak diketahui dengan jelas harganya. Ad-Dasuqi dalam Hasyiyahnya (fiqh Maliki) mengatakan:

“Harga dan barang harus jelas, diketahui penjual dan pembeli. Jika tidak, maka transaksinya batal.” (Hasyiyah ad-Dasuqi, 3/15). Ibnu Abidin (ulama Hanafi) mengatakan: “Syarat sahnya jual beli adalah diketahuinya ukuran barang dan harga barang.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 4/529).

Para ulama sepakat bahwa gharar berat (mengandung kerugian yang banyak) tidak diperbolehkan dan dilarang dalam sebuah transaksi. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid juz 2, hal. 125, beliau berkata: “Para pakar fikih sepakat bahwa gharar yang mengandung kerugian yang banyak itulah yang tidak boleh. Sedangkan jika hanya sedikit, masih ditolerir (dibolehkan)”. Lantas bagaimana dengan hukum makan di restoran sebelum membayar dan tanpa pencantuman harga? Apakah termasuk di dalam transaksinya gharar yang berat atau ringan? Sudah menjadi sesuatu yang lumrah di beberapa tempat makan bahwa ketika membayar belakangan merupakan tradisi dan kebiasaan.

Hal ini dilakukan untuk memudahkan bagi kedua belah pihak. Pihak penjual bisa menghitung harga makanan berdasarkan jenis dan ukuran porsi makanan yang diambil, sehingga dia tidak mengalami kerugian. Sedangkan bagi

konsumen manfaatnya dia tidak perlu menunggu lama dan bebas menentukan macam dan ukuran porsi yang diinginkan. Meskipun harga makanan tidak dicantumkan, namun pembeli sudah memahami bahwa pada umumnya harga yang diberikan sesuai dengan harga standar. Sehingga walaupun terjadi gharar di dalamnya, namun relatif ringan karena kerugian yang terjadi juga kecil, apalagi di dalamnya terdapat kemaslahatan bersama.

Adapun akad yang terjadi berdasarkan tradisi dalam suatu masyarakat. Artinya, jika dalam suatu masyarakat sudah menjadi tradisi makan dahulu baru bayar belakangan, maka ia sama saja seperti akad. Prinsip tradisi ini diakui oleh para ulama ushul dengan kaidah “Al-‘Adah Muhakkamah” bahwa ‘tradisi dalam suatu masyarakat dapat menjadi timbangan hukum’.

Dengan demikian, masalah makan di restoran sebelum membayar tidak serta-merta mengakibatkan jual beli tersebut menjadi batal, karena transaksi tersebut sudah menjadi kebiasaan masyarakat yang sulit untuk dihindari. Apalagi ada kemaslahatan yang diperoleh oleh masing-masing pihak dari transaksi tersebut. Karena sudah menjadi kebiasaan atau adat masyarakat, maka hal tersebut diperbolehkan asalkan tidak melanggar ketentuan hukum syariat. Meskipun pada kenyataannya transaksi tersebut mengandung gharar ringan yang masih bisa ditoleransi.

Akad dilakukan dengan cara saling memberi kemudahan kepada masing-masing pihak untuk dapat melaksanakanya sesuai dengan kesepakatan. Adanya itikad baik dalam akad dilakukan dalam rangka menegakkan kemaslahatan, tidak mengandung unsur jebakan dan perbuatan buruk lainnya.

Wallahu a’lam bishshawwab.


Selanjutnya