Dalam kehidupan rumah tangga, tidak jarang pertengkaran muncul karena hal-hal kecil. Kadang hanya soal komunikasi, perbedaan pendapat, atau emosi yang belum sempat diredam.
Namun yang lebih memprihatinkan, sebagian pasangan menjadikan kata “cerai” sebagai senjata saat emosi memuncak. Padahal, dalam Islam, ucapan semacam itu bukan hal sepele.
Setiap kata yang terucap membawa konsekuensi, apalagi menyangkut akad pernikahan yang suci. Rasulullah SAW pun telah memberi peringatan agar tidak menjadikan talak sebagai permainan dalam rumah tangga.
Maka dari itu, penting memahami bagaimana pandangan Islam terhadap kebiasaan meminta cerai saat bertengkar, serta solusi yang bisa ditempuh agar hubungan tetap harmonis.
Nah, di artikel ini Rumah Zakat akan membahas pandangan Islam mengenai ucapan cerai yang sering diucapkan dalam emosi, hukum khulu’ (permintaan cerai dari istri), hingga solusinya agar konflik rumah tangga tidak berakhir dengan perpisahan.
Memahami Status dan Bahaya Ucapan “Cerai” dalam Islam
Sebelum terlalu jauh membahasnya, mari kita pahami terlebih dahulu mengapa ucapan “cerai” begitu sensitif dalam Islam. Dalam hadis yang diriwayatkan Abu Dawud, Rasulullah SAW bersabda:
“Siapa pun perempuan yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka haram baginya mencium bau surga.” (HR. Abu Dawud, no. 2226)
Hadis ini bukan sekadar ancaman, melainkan bentuk kasih sayang agar setiap pasangan tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan besar.
Permintaan cerai yang muncul karena emosi atau alasan sepele dapat merusak keutuhan rumah tangga dan menimbulkan penyesalan di kemudian hari.
Selain itu, Islam memandang ucapan talak sebagai sesuatu yang serius. Sekali diucapkan, bisa jadi memiliki konsekuensi hukum yang sah, tergantung pada niat dan konteksnya.
Itulah mengapa menahan diri dan berpikir jernih sebelum berbicara sangat dianjurkan, terutama di momen ketika hati sedang tersulut amarah.
Hukum Syariat: Khulu’ (Permintaan Cerai dari Istri)
Setelah memahami bahayanya ucapan cerai sembarangan, mari beralih ke hukum syariat yang mengatur jika seorang istri memang ingin berpisah dengan suaminya.
Dalam Islam, kondisi ini dikenal sebagai khulu’, yaitu proses ketika istri meminta cerai dengan mengembalikan mahar atau sejumlah harta sebagai tebusan agar suami melepaskan hubungan pernikahan.
Khulu’ diperbolehkan jika terdapat alasan yang benar dan syar’i. Misalnya, istri mengalami penderitaan batin, tidak lagi mampu menjalankan kewajiban dengan baik, atau muncul ketidakharmonisan yang tak bisa diperbaiki.
Namun bila permintaan tersebut muncul tanpa alasan yang jelas, hanya karena bosan atau emosi sesaat, maka khulu’ menjadi perbuatan yang tidak sah dan berdosa.
Prinsipnya, Islam selalu menekankan keseimbangan, memberi ruang bagi istri untuk lepas dari pernikahan yang menyakitkan, namun tetap menjaga agar ikatan suci ini tidak diakhiri tanpa sebab yang dibenarkan.
Baca Juga: Haram Hukumnya! Ini Dia Wanita yang Tidak Boleh Dinikahi dalam Islam
Solusi Islami untuk Mengatasi Kebiasaan Buruk
Lalu bagaimana jika kebiasaan meminta cerai ini sudah menjadi pola dalam rumah tangga? Islam memberikan panduan untuk mengatasinya dengan cara yang lembut namun tegas.
Beberapa langkah islami yang bisa dilakukan antara lain:
- Sabar dan berakhlak baik dalam bertindak, agar suasana rumah tetap hangat dan tidak semakin tegang.
- Berkomunikasi dengan lembut dan penuh perhatian, karena kalimat yang baik sering kali bisa meredam api emosi.
- Suami introspeksi diri, sebab ucapan istri yang meminta cerai bisa jadi sinyal bahwa ada hal yang perlu diperbaiki.
- Memberi ruang untuk tenang (me time) bagi istri agar emosinya tidak memuncak dan ia dapat berpikir lebih jernih.
Dalam rumah tangga, tak ada yang selalu sempurna. Kadang yang dibutuhkan bukan argumen siapa benar atau salah, melainkan bagaimana keduanya bisa saling memahami dan memperbaiki diri.
Sering kali, yang menyelamatkan hubungan bukan kata-kata besar, tetapi sikap lembut dan kesabaran yang tulus.
Alternatif Penyelesaian Konflik Sesuai Al-Qur’an
Ketika konflik rumah tangga sulit dihindari, Al-Qur’an telah memberikan petunjuk cara penyelesaiannya. Allah SWT berfirman dalam QS. An-Nisa ayat 34:
وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur, dan (jika perlu) pukullah mereka (dengan cara yang tidak menyakitkan).” (QS. An-Nisa: 34)
Ayat ini menjelaskan tiga tahapan dalam menghadapi konflik:
- Memberi nasihat dengan hikmah dan kelembutan.
- Pisah ranjang sementara untuk memberi waktu menenangkan diri.
- Langkah lanjutan sesuai syariat, jika dua cara sebelumnya belum berhasil.
Namun perlu diingat, cerai selalu menjadi jalan terakhir, bukan solusi pertama. Dalam setiap tahapnya, Islam menekankan pentingnya menjaga adab, menahan amarah, dan menghindari kata-kata yang bisa melukai. Sebab yang dicari bukan kemenangan dalam pertengkaran, melainkan keberkahan dalam hubungan.
Baca Juga: Dosa Selingkuh: Godaan Sesaat, Penyesalan Sepanjang Hayat
Kesimpulan
Jadi, permintaan cerai yang muncul karena emosi atau hal sepele jelas tidak dibenarkan dalam Islam. Rasulullah SAW telah memperingatkan agar tidak menjadikan talak sebagai permainan.
Namun jika memang ada alasan syar’i yang kuat, syariat memberikan ruang melalui khulu’ sebagai jalan keluar yang terhormat.
Untuk menghindari kebiasaan ini, pasangan perlu memperkuat komunikasi, menumbuhkan kesabaran, serta mengikuti tuntunan Al-Qur’an dalam menyelesaikan konflik.
Rumah tangga bukan sekadar tempat berbagi kebahagiaan, tapi juga ladang untuk belajar menahan diri dan saling memperbaiki.
Sebagaimana menjaga rumah tangga adalah ibadah, begitu pula berbagi kebaikan melalui zakat, infak, sedekah, dan donasi di Rumah Zakat juga menjadi cara untuk menenangkan hati serta memperkuat keimanan.
Karena pada akhirnya, ketenangan hidup datang bukan hanya dari cinta, tapi juga dari keberkahan yang dibangun bersama.

