Pembagian warisan sering kali jadi hal sensitif dalam keluarga. Tak jarang, niat baik bisa berubah jadi konflik panjang yang memecah silaturahmi.
Tapi, bagaimana kalau seseorang memilih tidak mengambil jatah warisan demi menjaga kedamaian keluarga? Apa hal itu dibenarkan dalam Islam?
Nah, untuk menjawab pertanyaan tersebut, yuk kita bahas lebih dalam di artikel berikut!
Warisan dalam Islam
Sebelum masuk ke soal boleh tidaknya mengambil warisan, penting untuk memahami dulu bagaimana Islam memandang proses pewarisan itu sendiri.
Dalam Islam, warisan bukan hanya soal harta benda, melainkan amanah yang harus dijalankan sesuai syariat.
Harta peninggalan yang diwariskan mencakup semua jenis kepemilikan, mulai dari tanah, rumah, kendaraan, hingga hak-hak yang sah menurut hukum.
Proses ini dilakukan setelah menyelesaikan utang, wasiat, dan kewajiban lainnya dari orang yang wafat. Pembagian warisan diatur rinci dalam Al-Qur’an, khususnya dalam surah An-Nisa ayat 11:
يُوۡصِيۡكُمُ اللّٰهُ فِىۡۤ اَوۡلَادِكُمۡ
“Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu”
Setiap ahli waris mendapat bagian sesuai ketentuan yang telah ditetapkan. Tidak bisa dikurangi atau dilebihkan sesuka hati. Prinsip utamanya adalah keadilan dan keseimbangan, siapa yang berhak, dia yang mendapat.
Tidak peduli besar atau kecil hartanya, pembagian warisan harus sesuai syariat.
Memahami “Tidak Mengambil Jatah Warisan” dalam Syariat Islam
Isu ini mungkin terdengar sepele, tapi sebenarnya cukup kompleks. Ada yang merasa sungkan, ada pula yang memilih mundur demi menghindari konflik. Tapi bagaimana pandangan Islam terhadap keputusan seperti ini?
Dalam hukum waris Islam, hak waris itu sifatnya ijbari, artinya hak itu langsung melekat kepada ahli waris begitu pewaris wafat. Tidak perlu disetujui dulu, tidak bisa pula ditolak begitu saja.
Jadi, dari segi hukum, tidak mengambil warisan bukan berarti menolak hak, melainkan menghibahkan bagian kepada yang lain secara sukarela.
Namun ada catatan penting. Keputusan tersebut hanya dianggap sah jika dilakukan setelah mengetahui secara utuh bagian warisannya.
Barulah, jika atas dasar pertimbangan pribadi ingin menyerahkannya demi menjaga hubungan baik atau memberi kepada yang lebih membutuhkan, hal itu dibolehkan.
Yang terpenting, tidak ada paksaan, tidak ada tekanan, dan semuanya dijalani dengan hati yang lapang.
Baca Juga: Apakah Harta Warisan Wajib Dizakati?
Langkah Bijak Menghadapi Konflik Warisan
Menjaga keharmonisan keluarga tentu lebih utama daripada memperebutkan harta. Maka, ada beberapa langkah bijak yang bisa ditempuh agar warisan tidak menjadi bara dalam sekam.
Pertama, penting untuk membuka ruang komunikasi yang sehat sejak awal. Duduk bersama, bicara dari hati ke hati, dan menyingkirkan prasangka.
Komunikasi terbuka sering kali jadi kunci meredakan potensi pertikaian yang sebenarnya berakar pada miskomunikasi.
Kedua, perencanaan warisan sebaiknya tidak ditunda. Bila memungkinkan, pewaris bisa membuat wasiat yang jelas, bukan untuk membagi warisan, karena itu sudah diatur syariat, melainkan untuk menyampaikan harapan atau penunjukan pelaksana pembagian agar prosesnya lebih tertib.
Melibatkan penasihat syariah atau mediator juga bisa jadi pilihan tepat agar semuanya berjalan adil dan damai.
Kesimpulan
Jadi, secara prinsip, tidak diperkenankan menolak warisan secara mutlak karena itu sudah menjadi hak yang ditetapkan oleh syariat.
Tapi, jika setelah mengetahui porsinya seseorang memilih untuk tidak mengambil bagian tersebut demi alasan yang baik dan dilakukan dengan ikhlas, Islam membolehkannya.
Yang terpenting adalah kejelasan dan keikhlasan. Jangan sampai keputusan diambil dalam tekanan atau rasa tidak enak hati yang berkepanjangan.
Nah, sekian artikel kali ini. Yuk, ikuti informasi seputar Islam lainnya bersama kami di Rumah Zakat.