Ini jaman dimana media melonjak perannya bertumbuk dengan kepentingan publikasi yang kadang sifatnya maya dan sementara. Keduanya melayani dahaga benak publik akan sesuatu yang hiper-realita. Lalu bersamaan dengan peran mainstream media yang dulu menjadi referensi utama, sekarang diambil sebagian besar perannya oleh publik sendiri. Anda bisa punya uang Trilyunan untuk mengguyur TV dan merebut sorot kamera. Tapi Anda tak mudah membayar netizen yang ‘ngoceh semau mereka. Semua punya media di ujung jemarinya.
Dulu yang disebut citizen journalist memerlukan media utama untuk menyiarkan berita. Sekarang netizen menemukan caranya sendiri melalui media sosial, menulis di blog bahkan membuat media-media komunitas yang tajam & jadi acuan orang banyak. Tapi ciri media yang arusnya makin horisontal ini adalah usia eksposur isu atau beritanya yang sangat pendek. Cepat heboh, cepat sirna. Cepat matang, cepat busuk lalu dilupakan. Sebuah kreativitas harus sangat outstanding untuk bisa terlihat sebelum menghilang tak lama kemudian. Trending topics bertahan paling lama hingga 3 – 4 hari, seperti #salamgigitjari lalu.
“Bekasi di planet lain” bertahan sepekan, lalu hilang dilupakan. Ketika ada sebuah operator telko sebulan kemudian menggunakan isu itu untuk menarik perhatian, sudah sangat terlambat. Momentum sudah lewat. Bahkan ia dibully dan harus minta maaf. “Di situ kadang saya merasa sedih” juga sama, menanjak cepat lalu hilang. Siklus popularitas sangat pendek. Berita dan tren apapun saat ini menjalar cepat tapi tak didalami. Bahkan karena netizen sekarang malas baca, yang mereka lakukan adalah ‘scanning’ tak jarang cuma baca judulnya. Lebih jauh lagi : membaca #trendingtopics sudah dianggap cukup untuk mengetahui apa yang sedang dibicarakan dunia.
Sebagai produsen atau awak media yang mengawal popularitas personal, produk atau jasa, speed to produce sebuah konten sekarang mutlak. Karena real-time content menjadi tuntutan ditambah sentuhan kreativitas yang menarik perhatian. Seorang content director harus melotot mengamati layar monitor untuk melihat tren apa yang terjadi lalu berdikusi dengan ideas/ creative director untuk memunculkan ide relevan. Sayangnya, banyak praktisi media menggunakan pendekatan yang sama dengan jaman sebelumnya : tidak tajam melihat gejala dan terlambat menelorkan isu untuk dinikmati publik.