Menjelang akhir tahun, suasana di ruang publik biasanya mulai berubah. Ornamen Natal terpasang, lagu-lagu khas terdengar di pusat perbelanjaan, dan kalender kerja pun menandai libur panjang.
Di tengah suasana ini, muncul satu pertanyaan yang kerap berulang di kalangan Muslim, bagaimana seharusnya bersikap?
Pertanyaan tersebut wajar, karena Islam mengajarkan toleransi sekaligus keteguhan akidah. Bersikap ramah tanpa melanggar prinsip iman membutuhkan pemahaman yang jernih, bukan reaksi emosional.
Nah, di artikel ini, Rumah Zakat akan membahas hal ini lebih lanjut. Yuk, simak terus!
Memahami Batasan Akidah
Sebelum masuk ke hal-hal praktis, penting untuk memahami landasan utamanya terlebih dahulu.
Dalam Islam, toleransi beragama merupakan kewajiban sosial, sementara menjaga akidah adalah kewajiban personal yang tidak bisa ditawar. Ulama menjelaskan perbedaan jelas antara muamalah, yaitu interaksi sosial dan urusan duniawi yang pada dasarnya boleh, dengan ibadah, yang bersifat khusus bagi pemeluk agama masing-masing.
Konsep ini ditegaskan oleh banyak ulama, di antaranya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, yang menjelaskan bahwa tasyabbuh, yaitu menyerupai non-Muslim dalam ritual keagamaan, termasuk perkara yang dilarang karena berpotensi merusak kemurnian akidah. Di sinilah kehati-hatian diperlukan, tanpa harus mengorbankan adab dan akhlak.
Baca Juga: Diundang Dalam Perayaan Natal? Yuk, Ketahui Perspektif Islam Akan Hal Ini!
Apa yang Tidak Boleh Dilakukan
Setelah memahami batasan akidah, berikut beberapa hal yang perlu dihindari agar tetap berada dalam koridor syariat.
- Mengucapkan “Merry Christmas” atau ucapan tahniah sejenis, karena secara makna dianggap sebagai pengakuan atau keterlibatan dalam perayaan ritual Natal.
- Mengikuti acara makan bersama atau pesta Natal yang di dalamnya terdapat nyanyian religi Kristen, doa khusus, atau simbol ibadah seperti salib.
- Memberikan hadiah bertema religius Natal, seperti pohon Natal, kartu ucapan selamat Natal, atau atribut peribadatan lainnya.
Larangan ini bukan lahir dari sikap pribadi, melainkan dari prinsip menjaga iman. Sikap tegas pada wilayah akidah justru menjadi bentuk kejujuran dalam beragama.
Apa yang Boleh Dilakukan
Di sisi lain, Islam tidak mengajarkan sikap kaku dalam hubungan sosial. Ada banyak ruang interaksi yang tetap dibolehkan.
- Memberikan ucapan umum seperti “selamat libur” atau ungkapan netral lain yang tidak menyebut perayaan Natal.
- Memberi hadiah yang bersifat sekuler, seperti makanan atau bunga, sebagai bentuk silaturahmi, bukan bagian dari ritual keagamaan.
- Mengunjungi tetangga atau rekan kerja non-Muslim dengan adab yang baik, selama tidak ikut serta dalam ibadah atau ritual mereka.
Bukankah Islam sendiri mengajarkan ihsan dalam bermuamalah? Justru melalui sikap santun inilah nilai Islam bisa terlihat tanpa perlu banyak kata.
Prinsip Sikap Muslim di Lingkungan Kerja/Publik
Dalam lingkungan kerja dan ruang publik, sikap Muslim idealnya mencerminkan keseimbangan antara profesionalisme dan prinsip iman.
Memberi toleransi terhadap rekan kerja yang merayakan Natal, seperti menghormati cuti atau jadwal ibadah mereka, termasuk bagian dari etika muamalah. Namun, undangan ke acara ritual dapat ditolak dengan cara yang halus, tanpa perdebatan panjang.
Di ruang publik, dakwah paling efektif sering kali bukan lewat argumen, melainkan dakwah bil hal, keteladanan sikap, kejujuran, dan akhlak. Sikap inilah yang membuat Islam dipahami sebagai rahmat, bukan ancaman.
Baca Juga: Kedatangan Tamu Non Muslim? Ini Cara Rasulullah Menjamunya
Kesimpulan
Mendekati Hari Natal, seorang Muslim dituntut untuk bersikap bijak, toleran dalam interaksi sosial, namun tetap teguh dalam menjaga akidah. Islam tidak mengajarkan kebencian, tetapi juga tidak membuka ruang kompromi dalam urusan iman.
Dengan pemahaman yang benar, perbedaan dapat disikapi secara dewasa dan bermartabat. Dan, di momen akhir tahun yang penuh refleksi ini, menyalurkan kebaikan melalui zakat, sedekah, atau infak bersama Rumah Zakat dapat menjadi wujud nyata kepedulian sosial yang selaras dengan nilai Islam.

