Menjelang akhir tahun, linimasa media sosial biasanya berubah suasana. Ucapan Natal berseliweran, mulai dari unggahan pribadi hingga konten brand besar. Situasi ini kerap memunculkan pertanyaan yang sama setiap tahun, terutama di kalangan Muslim.
Apakah ikut mengucapkan Natal adalah bentuk toleransi, atau justru ada batasan yang perlu dijaga? Pertanyaan ini wajar muncul, apalagi di era digital ketika satu klik bisa bernilai sikap.
Nah, artikel ini, Rumah Zakat akan membahas persoalan tersebut, agar sikap yang diambil tetap selaras antara akidah dan akhlak. Yuk, simak terus!
Memahami Batasan: Toleransi vs Akidah
Sebelum membahas pandangan ulama, penting memahami kerangka dasarnya terlebih dahulu. Islam membedakan dengan jelas antara urusan muamalah dan urusan akidah.
Dalam muamalah, toleransi menjadi keharusan. Berbuat baik kepada tetangga, rekan kerja, atau siapa pun tanpa melihat latar belakang agama adalah bagian dari akhlak Islam. Namun, akidah berdiri di wilayah yang berbeda. Tauhid bersifat murni dan tidak bisa dicampuradukkan.
Ucapan seperti “Merry Christmas” tidak sekadar salam sosial, tetapi memiliki makna pengakuan terhadap perayaan dan ritual keagamaan tertentu. Berbeda halnya dengan ucapan netral seperti “Selamat libur” atau “Semoga sehat selalu” yang tidak membawa unsur keyakinan. Di titik inilah batas toleransi dan akidah perlu dipahami dengan jernih.
Baca Juga: Mendekati Hari Natal, Apa yang Boleh dan Tidak Boleh Dilakukan Seorang Muslim?
Berbagai Pandangan Ulama
Untuk memahami persoalan ini secara utuh, pandangan para ulama menjadi rujukan penting. Di sinilah umat diajak bersikap ilmiah, bukan reaktif.
- Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menegaskan bahwa mengucapkan selamat Natal hukumnya haram karena termasuk bentuk tahniah terhadap syiar agama lain yang bertentangan dengan tauhid.
- Syaikh Shalih Alu Syaikh memberikan penjelasan bahwa ucapan umum yang tidak menyebut Natal masih dibolehkan, selama tidak ikut dalam ritual atau perayaannya.
- Lajnah Daimah Saudi juga menekankan agar kaum Muslimin menghindari ucapan spesifik perayaan, dan cukup mendoakan kebaikan secara umum.
Mayoritas ulama Ahlussunnah sepakat pada satu titik temu: menjaga jarak dari ritual keagamaan, namun tetap menjaga hubungan sosial dengan sikap ramah dan santun. Di sinilah keseimbangan antara iman dan toleransi terjaga.
Sikap Bijak di Media Sosial
Setelah memahami batasan dan pandangan ulama, muncul pertanyaan lanjutan: bagaimana bersikap di media sosial yang serba terbuka?
Beberapa langkah sederhana bisa dilakukan tanpa menimbulkan kegaduhan:
- Repost konten netral seperti ucapan libur panjang atau semangat bekerja tanpa simbol Natal.
- Membalas pesan atau komentar dengan kalimat umum seperti “Terima kasih, semoga sehat selalu”.
- Menghindari like, share, atau unggahan yang menampilkan simbol ritual seperti pohon Natal atau lagu perayaan.
- Mengisi linimasa dengan konten positif Islami agar media sosial menjadi ruang dakwah yang halus.
Apakah ini berarti menarik diri dari pergaulan? Tentu tidak. Justru sikap tenang dan konsisten seperti ini sering kali lebih dihargai dan mencerminkan kedewasaan beragama.
Baca Juga: Diundang Dalam Perayaan Natal? Yuk, Ketahui Perspektif Islam Akan Hal Ini!
Kesimpulan
Jadi, di tengah ramainya ucapan Natal di media sosial, Islam mengajarkan sikap yang seimbang. Menghormati tetap wajib, namun tanpa ikut dalam ucapan atau simbol ritual yang berkaitan dengan akidah. Dengan etika yang baik dan konsistensi sikap, akidah tetap terjaga, sementara citra Islam sebagai agama yang toleran tetap terpancar.
Sebagai bagian dari ikhtiar menebar kebaikan, momen akhir tahun juga bisa dimanfaatkan untuk berbagi melalui zakat, sedekah, atau donasi bersama Rumah Zakat, agar nilai toleransi tidak hanya berhenti di ucapan, tetapi hadir nyata dalam aksi kemanusiaan.
