Tidak ada yang benar-benar siap menghadapi luka bernama perselingkuhan. Dalam satu momen, dunia terasa runtuh, dan hati seperti kehilangan pijakan.
Namun, dari banyak kasus rumah tangga, ada satu hal yang selalu muncul, Islam memiliki cara yang sangat lembut namun tegas dalam menghadapi luka semacam ini.
Setiap fase dalam proses ini butuh pemahaman yang hati-hati. Nah, di artikel ini Rumah Zakat akan membahas tiga fase dalam menghadapi perselingkuhan. Yuk, kita bahasa satu per satu!
Fase Pertama: Respon Hati
Sebelum masuk ke penjelasan detail, fase ini berbicara tentang apa yang muncul paling awal, yaitu gejolak batin.
Ketika seseorang diselingkuhi, respon spontan biasanya berupa amarah, kecewa, atau kehilangan kendali emosi. Namun, Islam mengajarkan pengendalian hati sebagai langkah pertama. Sabar di sini bukan berarti menahan rasa sakit, tetapi menahan diri dari tindakan impulsif. Tawakal menjadi pegangan agar hati tetap berada dalam lindungan Allah.
Dalam kondisi seperti ini, doa memohon pertolongan adalah kunci yang sering terasa menenangkan. Salah satu doa yang dianjurkan adalah memohon agar dijauhkan dari maksiat serta diberi kekuatan menghadapi ujian berat ini.
Nabi Muhammad SAW mengingatkan bahwa setiap pasangan pasti memiliki kekurangan, dan kesabaran dalam menghadapinya termasuk akhlak mulia. Kecuali pada kasus besar seperti perselingkuhan, biasanya ada ruang dialog dan evaluasi diri.
Namun untuk kondisi berat seperti ini, merapikan batin menjadi langkah pertama agar keputusan berikutnya dapat ditempuh dengan pikiran yang lebih jernih.
Baca Juga: Kenapa Orang yang Sudah Bahagia Masih Selingkuh? Jawaban dari Perspektif Hati dan Iman
Fase Kedua: Mengetahui Hak dan Kewajiban (Fikih Keluarga)
Pada fase berikutnya, kita beralih pada apa yang sering terlupakan, yaitu pemahaman hukum.
Dalam fikih keluarga, suami istri memiliki hak dan kewajiban yang saling melengkapi. Kesetiaan, nafkah lahir dan batin, serta menjaga kehormatan satu sama lain termasuk hal mendasar dalam pernikahan.
Ketika terjadi perselingkuhan, maka hal itu dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap amanah yang diikrarkan di hadapan Allah. Karena itu, sebagian ulama menegaskan bahwa perselingkuhan dapat menjadi alasan kuat untuk mengajukan perceraian bila tidak ada jalan perbaikan.
Pemahaman mengenai hak dan kewajiban ini bukan hanya soal teori, tetapi membantu seseorang menenangkan diri dan mengambil sikap yang proporsional.
Dengan mengetahui batas-batas yang digariskan agama, keputusan yang muncul nanti, bertahan atau berpisah, tidak sekadar lahir dari emosi, tetapi berdasarkan panduan syariat.
Fase Ketiga: Pilihan Tindakan Syar’i (Solusi)
Setelah memahami hukum dan merapikan batin, fase ini fokus pada jalan keluar yang mungkin ditempuh.
Islam memberikan beberapa opsi yang sesuai syariat, dan semuanya bertujuan menjaga kehormatan serta keselamatan diri. Langkah pertama biasanya adalah komunikasi.
Banyak pasangan yang menemukan solusi setelah membuka ruang bicara secara tenang. Bila masih mungkin diselamatkan, memperbaiki hubungan dan memperkuat iman menjadi pilihan utama. Doa, introspeksi, dan konseling bersama tokoh agama sering kali menjadi penyelamat.
Namun, bila kerusakan sudah tak dapat diperbaiki, Islam juga menyediakan opsi legal seperti cerai. Ini bukan langkah hina, tetapi justru bentuk perlindungan diri.
Pada beberapa kondisi, poligami juga dapat menjadi solusi syar’i, tentu dengan syarat yang sangat ketat, adil, mampu, dan penuh tanggung jawab. Dalam kasus yang berat seperti kekerasan, manipulasi, atau pengkhianatan berulang, menjaga keselamatan dan kehormatan diri menjadi prioritas utama.
Baca Juga: Cegah Perselingkuhan! Begini Cara Islami Menjaga Kesetiaan dalam Rumah Tanggah
Kesimpulan
Jadi, menghadapi perselingkuhan bukan perjalanan yang mudah, tetapi Islam mengurai setiap langkahnya dengan penuh kebijaksanaan. Ada fase merapikan hati, memahami syariat, lalu memilih tindakan yang sesuai, baik memperbaiki hubungan maupun berpisah dengan terhormat. Semuanya dilakukan dengan menjaga diri tetap dekat dengan Allah.
Dalam proses pemulihan, berbagi kebaikan sering menjadi penenang jiwa. Menyalurkan infak atau sedekah melalui Rumah Zakat bisa menjadi cara lembut untuk memperkuat hati sambil berharap Allah mengganti luka dengan kebaikan yang lebih luas.

