STATUS ZAKAT UNTUK BARANG-BARANG YANG TIDAK PRODUKTIF - Rumah Zakat
Rumah Zakat

STATUS ZAKAT UNTUK BARANG-BARANG YANG TIDAK PRODUKTIF

Oleh Eka Purwitasari | 7/6/2023, 3:52:20 AM | Inspirasi

facebook
facebook
facebook
facebook
tiktok

Zakat merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang mampu, jika tidak dikerjakan maka berdosa. Zakat ini bahkan ada dalam rukun Islam, tepatnya rukun Islam yang ketiga. Dalam berzakat, ada ketentuan dan aturan yang perlu dipenuhi. Sehingga memang tidak bisa bebas ditunaikan seperti halnya sedekah. Dalil tentang zakat ini ada dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi Saw. Berikut beberapa dalilnya:

“Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.” (Q.S. Al Baqarah: 43).”

“Jagalah harta benda kalian dengan zakat, obatilah orang-orang sakit kalian dengan sedekah dan siapkan doa untuk musibah.” (H.R. Thabrani, Abu Nuaim, dan Khatib).

Baca Juga: Bagaimana Cara Menghitung Zakat penghasilan?

Ada banyak jenis zakat yang diatur dalam Islam, yakni: zakat emas dan perak, zakat hewan ternak, zakat pertanian, zakat perniagaan, zakat temuan/rikaz dan barang tambang, zakat investasi, zakat tabungan/simpanan, dan zakat profesi/penghasilan.

Lalu, bagaimanakah hukum zakat untuk barang-barang yang tidak produktif? Apakah tetap dikenakan zakat? Kalau iya, zakat jenis apa?

Barang-barang yang tidak produktif itu banyak macamnya. Bisa berupa tanah, rumah, atau kendaraan. Sementara maksud tidak produktif di sini berarti barang-barang tersebut artinya hanya dipakai sendiri untuk sebuah keperluan dan bukan diperjual belikan seperti sebuah profesi.  

Maka, menurut beberapa fatwa yang dilansir dari buku Fiqih Praktis Sehari-Hari karya Farid Nu’man Hasan dikatakan bahwa barang-barang yang tidak produktif tersebut tidak ada zakatnya. Maksudnya, harta-harta tersebut tidak dikenakan atas zakat walupun misalnya jumlahnya banyak. Namun, apabila misalnya tanah, rumah, atau kendaraan yang dimiliki itu disewakan atau diperjual belikan sebagai sebuah profesi/usaha, maka dikenakan zakat perniagaan/tijarah.

Akan tetapi, bila harta-harta tidak produktif itu dijual untuk keperluan pribadi (misalnya menjual tanah untuk biaya pendidikan anak) dan bukan karena profesi jual beli tanah, maka tidak ada kewajiban zakat atasnya.

Ada beberapa fatwa berkenaan harta-harta yang tidak produktif ini. Berikut fatwanya:

1. Fatwa dari Syekh Abdul Karim bin Abdullah Al-Khudhair yang dikutip dari laman khudheir.com:

Tanah yang dijadikan kebun tidak wajib untuk dizakatkan, kecuali jika tanah itu ingin dibisniskan. Adapun jika tanah itu ditanam sesuatu, zakatnya adalah dari tanaman itu atau dari penjualannya yang merupakan hasil dari tanah itu. Jadi, tanah itu sendiri tidak ada zakatnya, dan baru ada zakatnya jika tanah itu dimanfaatkan.

Jika pemanfaatan itu memiliki hasil, itulah yang dikenakan zakat. Jika tanah itu memiliki bangunan, misalnya, lalu ada keuntungan dari bangunan itu, zakat ditarik dari keuntungannya dan bukan ditarik dari tanah, serta bukan pula ditarik dari kontruksi bangunan.

Baca Juga: Adakah Larangan Berutang dalam Islam?

Sekali lagi, zakatnya ditarik dari hasil (keuntungan) ini. Jika terdapat tanaman di tanah itu, zakatnya ditarik dari hasil tanaman (misal buah, dan lain-lain), dan demikian seterusnya. Jika di atas tanah itu didirikan sesuatu yang diperdagangkan, zakatnya diambil dari hasil perdagangan barang itu, sedangkan bangunannya tidak dikenakan zakat apa pun.

Zakat hanya diambil dari keuntungan penjualan barang-barang dagangan yang ada. Ketika keuntungan itu telah bertahan satu tahun (haul), barulah dikeluarkan zakatnya.

2. Fatwa Syekh Yusuf Al-Qaradhawi hafizhhahullah dari kitabnya Fighuz Zakah:

seandainya seseorang membeli sesuatu untuk dipakai sendiri, seperti mobil yang akan dikendarainya, dengan niat apabila mendatangkan keuntungan, ia akan menjualnya nanti, ini juga bukan termasuk barang tijarah (tidak wajib zakat).

Ini berbeda dengan jika seseorang membeli beberapa buah mobil yang memang untuk dijual dan mengambil keuntungan darinya. Lalu jika ia mengendarai dan menggunakan mobil itu untuk dirinya, ia menemukan adanya keuntungan dan menjualnya, apa yang dilakukannya (memakai kendaraan itu) tidaklah mengeluarkan status barang itu sebagai barang perniagaan.

Baca Juga: Tidur Setelah Subuh dan Asar dalam Pandangan Islam

Jadi, yang jadi prinsip adalah niatnya. Jika membeli barang untuk dipakai sendiri, ia tidak mengubahnya menjadi barang tijarah walaupun akhirnya ia menualnya (barang itu) dan mendapat keuntungan. Begitu pun sebaliknya, jika seseorang berniat mengubah barang dagangan menjadi barang yang ia pakai sendiri, niat itu sudah cukup menurut pendapat mayoritas fuqaha (ahli fiqih) untuk mengeluarkan statusnya sebagai barang dagangan dan masuk dalam kategori milik pribadi yang tidak berkembang (produktif). Wallohu’alam bishawab.


Selanjutnya